Selasa, 27 Maret 2012
Minggu, 25 Maret 2012
Sabtu, 24 Maret 2012
media pengajaran
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada suatu kesempatan pernah dibahas mengenai hakikat, fungsi, peranan, jenis-jenis dan karakteristik media yang dapat di gunakan untuk memeperlancar proses pembelajaran. Media pembelajaran merupakan integral dalam keseluruhan proses pembelajaran .
Proses pembelajaran pada era sekarang ini guru dituntut untuk menggunakan media yang tepat, sesuai dengan perkembangan intelektual anak. Berdasarkan perkembangan yang terjadi, jumlah dan jenis media pembelajaran yang ada dewasa saat ini sangatlah banyak dan bervariasi, baik yang dirancang khusus untuk keperluan pembelajaran ( media by desaign ), maupun yang tidak dirancang secara khusus, namun dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran ( media by utilization ).
Media pembelajaran sederhana perlu diterapkan, karena jenis-jenis medianya mudah dibuat, bahan-bahannya mudah diperoleh, mudah digunakan, serta harganya relatif murah. Para peserta didik diarahkan bagaimana cara memilih, menggunakan dan merawat media pembelajaran sederhana untuk lebih mengoptimalkan proses pembelajaran agar kompetensi / tujuannya bisa tercapai. Pada kondisi sekolah.Contoh dari media sederhana yaitu media visual yang tidak diproyeksikan, terutama pada media grafis dan media tiga dimensi. Sebenarnya, pemberian status media pembelajaran sederhana ini sifatnya relatif, tergantung kondisi sekolah. Pada satu sekolah menganggap media tersebut media sederhana, dan sekolah yang lainnya menganggap media tersebut terlalau mahal dan rumit atau sebaliknya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran ?
2. Bagaimana kriteria pemilihan media pembelajaran ?
3. Bagaimana prinsip-prinsip dalam menggunakan media pembelajaran ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PRINSIP-PRINSIP PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN.
Dalam tahap pemilihan media, merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan proses pengggunaan media pembelajaran. Apabila salah dalam memilih media pembelajaran maka akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Memilih media harus selalu dikaitkan dengan kompetensi/tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sifat-sifat bahan ajar yang akan disampaikan strategi pembelajaran yang akan digunakan dan sistem evaluasinya. Media pembelajaran sangat banyak ragamnya dan setiap media memiliki kelebihan dan kelemahannya, tidak ada media pembelajaran yang paling baik yang dapat digunakan untuk sebagai situasi dan kondisi.
Pertimbangan-pertimbangan apa saja yang dapat dijadikan pegangan didalam pemilihan media pembelajaran tersebut sehingga kesalahan-kesalahan dalam pemilihan media ini dapat dihindari. Proses pemilihan media pembelajaran ini harus memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut :
1.) Tujuan Pemilihan Media Pembelajaran.
Memilih media pembelajaran yang akan digunakan harus berdasarkan maksud dan tujuan pemilihan yang jelas. Apakah digunakan untuk kegiatan pembelajaran atau untuk pemberian informasi yang sifatnya umum atau untuk sekedar hiburan saja ?. Jika digunakan untuk kegiatan pembelajaran, apakah untuk pembelajaran yang sifatnya individual atau kelompok ? Tujuan pemilihan ini sangat berkaitan dengan kemampuan dalam menguasai berbagai jenis media dalam pembelajaran beserta karakteristiknya.
2.) Karakteristik Media Pembelajaran.
Setiap media pembelajaran memiliki karakteristik tertentu, baik dilihat dari segi keandalannya, cara pembuatannya, maupun cara penggunaanya. Pemahaman terhadap karakteristik berbagai media pembelajaran merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki dalam kaitannya dengan pemilihan media pembelajaran ini. Selain itu, kemampuan ini memberikan kemungkinan kepada kita untuk menggunakan berbagai jenis media pembelajaran secara bervariasi. Apabila kita kurang memahami karakteristik media pembelajaran tersebut, kita akan dihadapkan kepada kesulitan-kesulitan dan biasanya cenderung bersifat spekulatif.
3.) Alternatif Media Pembelajaran yang Dapat Dipilih.
Memilih media pada dasarnya merupakan proses mengambil atau menentukan keputusan dari alternatif yang ada. Dengan menentukan pilihan media yang akan digunakan apabila terdapat berbagai media yang dapat diperbandingkan, namun jika media pembelajaran hanya ada satu jenis maka tidak akan bisa dipilih, dan harus menggunakan media pembelajaran tersebut.
Agar media pembelajaran yang dipilih tepat, selain harus mempertimbangkan ketiga hal tersebut, perlu diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut :
a. Rencana pembelajaran.
Rencana pembelajaran atau satuan pembelajaran harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Media yang dipilihpun harus disesuaikan dengan rencana pembelajaran dan kurikulum tersebut.
b. Sasaran belajar.
Sasaran belajar dimaksudkan agar siswa bisa menerima informasi dari media pembelajaran, serta harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Misalnya dari segi bahasanya, simbol-simbol yang digunakan, cara menyajikannya dan juga waktu penggunaanya.
c. Tingkat keterbacaan media ( reliability ).
Maksudnya, apakah media pembelajaran tersebut sudah memenuhi syarat-syarat teknis, seperti kejelasan gambar, huruf dan pengaturan warna. Apabila hal ini tidak diperhatikan tentu saja akan mengganggu jalannya proses pembelajaran.
d. Situasi dan kondisi.
Maksudnya situasi dan kondisi tempat atau ruangan yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar, seperti ukurannya, perlengkapannya, ventilasinya, dan cahayanya. Bisa juga keadaan siswanya, seperti jumlah siswa, minat dan motivasi belajarnya.
e. Obyektivitas.
Maksudnya, harus menghindari pemilihan media yang didasari oleh kesenangan individu semata ( subyektif ). Cara mengatasinya dengan meminta pendapat atau saran dari teman sejawat di lingkungan kita.
Selain memperhatikan beberapa faktor diatas, disini juga dijelaskan bahwa ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam usaha memilih media pengajaran, yakni:
Dengan cara memilih media yang telah tersedia di pasaran yang dapat dibeli guru dan langsung dapat digunakan dalam proses pengajaran. Pendekatan ini sudah tentu membutuhkan biaya untuk membelinya, lagi pula belum tentu media itu cocok buat penyampaian bahan pelajaran dan dengan kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa.
Memilih berdasarkan kebutuhan nyata yang telah direncanakan, khususnya yang berkenaan dengan tujuan yang telah dirumuskan secara khusus dan bahan pelajaran yang hendak disampaikan.
Dewasa ini pendekatan kedua ini banyak digunakan oleh guru-guru, yakni dengan mempertimbangkan bahan pelajaran yang akan disampaikan, serta kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa. Kecocokan terhadap kedua hal ini menjadi dasar pertimbangan apakah suatu media dipilih atau tidak dipilih. Dalam hubungan ini berlaku prinsip “selection by rejection”. Guru hanya memilih media pengajaran yang bermanfaat dan tidak memilih media yang tidak terpakai.
B. KRITERIA DALAM PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam menggunakan media pengajaran untuk mempertinggi kualitas pengajaran. Pertama, guru memiliki pemahaman media pengajaran antara lain jenis dan manfaat media pengajaran, kriteria memilih dan menggunakan media pengajaran, menggunakan media sebagai alat bantu mengajar dan tindak lanjut penggunaan media dalam proses belajar siswa. Kedua, guru terampil dalam membuat media pengajaran sederhana untuk keperluan pengajaran, terutama media dua dimensi atau media grafis, dan beberapa media tiga dimensi dan media proyeksi. Ketiga, pengetahuan dan keterampilan dalam menilai keefektifan penggunaan media dalam proses pengajaran. Menilai keefektifan media pengajaran penting bagi guru agar ia bisa menentukan apakah penggunaan media mutlak diperlukan atau tidak selalu diperlukan dalam pengajaran sehubungan dengan prestasi belajar yang dicapai siswa. Apabila penggunaan media pengajaran tidak mempengaruhi proses dan kualitas pengajaran, sebaiknya guru tidak memaksakan penggunaannya dan perlu mencari usaha lain diluar media pengajaran.
Dalam memilih media untuk kepentingan pengajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:
a) Ketepatannya dengan tujuan pengajaran
Maksudnya media pengajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Tujuan-tujuan instruksional yang berisikan unsur pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis lebih memungkinkan digunakannya media pengajaran.
b) Dukungan terhadap isi bahan pelajaran
Maksudnya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip, konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar lebih mudah dipahami siswa.
c) Kemudahan memperoleh media
Maksudnya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar. Media grafis umumnya dapat dibuat guru tanpa biaya yang mahal, disamping sederhana dan praktis penggunaannya.
d) Keterampilan guru dalam menggunakannya
Maksudnya apapun jenis media yang diperlukan syarat utama adalah guru dapat menggunakannya dalam proses pengajaran. Nilai dan manfaat yang diharapkan bukan pada medianya, tetapi dampak dari penggunaan oleh guru pada saat terjadinya interaksi belajar siswa dengan lingkungannya. Adanya OHP, proyektor film, komputer dan alat-alat canggih lainnya tidak mempunyai apa-apa apabila guru tidak dapat menggunakannya dalam pengajaran untuk mempertinggi kualitas pengajaran.
e) Tersedia waktu untuk menggunakannya
Maksudnya dengan adanya waktu untuk menggunakannya sehingga media tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pengajaran berlangsung.
f) Sesuai dengan taraf berfikir siswa
Maksudnya dalam memilih media untuk pendidikan dan pengajaran harus sesuai dengan taraf berfikir siswa, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh para siswa. Menyajikan grafik yang berisi data dan angka atau proporsi dalam bentuk persen bagi siswa SD kelas-kelas rendah tidak ada manfaatnya. Mungkin lebih tepat dalam bentuk gambar atau poster. Demikian juga diagram yang mdnjelaskan alur hubungan suatu konsep atau prinsip hanya bisa dilakukan bagi siswa yang telah memiliki kadar berfikir yang tinggi.
Dengan demikian kriteria pemilihan diatas, guru dapat lebih mudah menggunakan media mana yang dianggap tepat untuk membantu mempermudah tugas-tugasnya sebagai pengajar. Kehadiran media dalam proses pengajaran jangan dipaksakan sehingga mempersulit tugas guru, tapi harus sebaliknya yakni mempermudah guru dalam menjelaskan bahan pengajaran. Oleh sebab itu media bukan suatu keharusan tetapi sebagai pelengkap jika dipandang perlu untuk mempertinggi kualitas belajar dan mengajar.
Menurut Prof. Drs. Hartono Kasmadi M.Sc. bahwa didalam memilih media pendidikan perlu dipertimbangkan adanya 4 hal yaitu: produksi, peserta didik, isi dan guru.
1) Pertimbangan Produksi:
a. Availability, yakni tersedianya bahan. Media akan efektif dalam mencapai tujuan, bila tersedia bahan dan berada pada sistem yang tepat.
b. Cost, yakni harga. Harga yang tinggi tidak menjamin penyusunan menjadi tepat, demikian sebaliknya tanpa biasanya juga tidak akan berhasil artinya tujuan belum tentu dapat dicapai.
c. Physical condition, yakni kondisi fisik. Misalkan dengan warna yang buram yang akan mengganggu kelancaran belajar mengajar.
d. Accessibility to student, yakni mudah dicapai. Maksudnya, pembelian bahan (peralatan) hendaknya yang mempunyai dua fungsi yaitu guru dapat menggunakannya, siswa juga akan semakin mudah mencerna pelajaran.
e. Emotional impact, yakni sejauh mana yang dapat dicapai oleh pendidikan, maka pelaksanaan pengajaran dengan menggunakan media harus mampu bernilai estetika sebab akan lebih menarik untuk menumbuhkan motivasi.
2) Pertimbangan Peserta didik:
a. Student characteristics, yakni watak peserta didik. Guru harus mampu memahami tingkat kematangan dan latar belakang peserta didik. Dengan demikian guru dapat menentukan pilihan-pilihan media yang sesuai dengan karakter peserta didik, yang meliputi masalah tingkah kematangan peserta didik secara kompeherensif (kesatuan menyeluruh).
b. Student relevance, yakni sesuai dengan peserta didik. Bahan yang relevan akan memberi nilai positif dalam mencapai tujuan belajar, pengaruhnya akan meningkatkan pengalaman peserta didik, pengembangan pola pikir, analisis pelajaran, hingga dapat menceritakan kembali pelajaran yang diajarkan dengan baik.
c. Student involvement, yakni keterlibatan peserta didik. Bahan yang disajikan akan memberikan kemampuan peserta didik dan keterlibatan peserta didik secara fisik dan mental (peran aktif peserta didik) untuk meningkatkan potensi belajar.
3) Pertimbangan Isi:
a. Curriculair-relevance.
Maksudnya, penggunaan media harus sesuai dengan isi kurikulum dan tujuannya harus jelas.
b. Content-soundness.
Banyak bahan media yang sudah diprogram siap pakai/bahan jadi seperti: film slide, sound slide, video cassete dan sebagainya. akan tetapi, kemungkinan bahan jadi tersebut belum tentu cocok dan mungkin sudah tidak up to date/sudah ketinggalan zaman sehingga tidak sesuai lagi. Maka perlu kejelian dalam memilih media, antara lain:
• Pembelian yang efektif yang disesuaikan dengan kebutuhan.
• Pembelian hanya untuk referensi bukan untuk demonstrasi.
• Jika memungkinkan guru harus mampu membuat sendiri media yang cocok dengan kebutuhan (up to date).
c. Presentation.
Jika isi sudah tepat dan sesuai dengan kebutuhan, maka perlu cara penyajiannya yang benar.
4) Pertimbangan Guru:
a. Teacher-utilization.
Guru harus mempertimbangkan dari segi pemanfaatan media yang akan digunakan, sebagai bahan pertimbangan:
• Apakah digunakan untuk kepentingan individu atau kelompok.
• Apakah yang digunakan media tunggal atau multi media.
• Yang lebih penting berorientasi terhadap tujuan pendidikan.
b. Teacher peace of mind.
c. Media yang digunakan mampu memecahkan problem jangan menimbulkan masalah, maka perlu observasi dan review bahan-bahan tersebut sebelum disajikan.
Dalam hubungannya dengan penggunaan media pada waktu berlangsungnya pengajaran setidak-tidaknya digunakan guru pada situasi sebagai berikut:
a) Perhatian siswa terhadap pengajaran sudah berkurang akibat kebosanan mendengarkan uraian guru. Penjelasan atau penuturan secara verbal oleh guru mengenai bahan pengajaran biasanya sering membosankan apalagi bila cara guru menjelaskannya tidak menarik. Dalam situasi ini tampilnya media akan mempunyai makna bagi siswa dalam menumbuhkan kembali perhatian belajar para siswa.
b) Bahan pengajaran yang dijelaskan guru kurang dipahami siswa. Dalam situasi ini sangat bijaksana apabila guru menampilakn media untuk memperjelas pemahaman siswa mengenai bahan pengajaran. Misalnya menyajikan bahan dalam bentuk visual melalui gambar, grafik, bagan atau model-model yang berkenaan dengan isi bahan pengajaran.
c) Terbatasnya sumber pengajaran. Tidak semua ekolah memiliki buku sumber, atau tidak semua bahan pengajaran ada dalam buku sumber. Situasi ini menuntut guru untuk menyediakan sumber tersebut dalam bentuk media. Misalnya peta atau globe dapat dijadikan sumber bahan belajar bagi siswa, demikian juga model, diorama, media grafis, dan lain-lain.
d) Guru tidak bergairah untuk menjelaskan bahan pengajaran melaluai penuturan kata-kata (verbal) akibat terlalu lelah disebabkan telah mengajar terlalu lama. Dalam situasi ini guru dapat menampilkn media sebagai sumber belajar bagi siswa. Misalnya guru menampilkan bagan atau grafik dan siswa diminta memberi analisis atau menjelaskan apa yang tersirat dari gambar atau grafik tersebut, baik secara individual maupun secara kelompok.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan media dalam proses pengajaran dapat ditempatkan sebagai:
a) Alat untuk memperjelas bahan pengajaran pada saat guru menyampaikan pelajaran. Dalam hal ini media digunakan guru sebagai variasi penjelasan verbal mengenai bahan pengajaran.
b) Alat untuk mengangkat atau menimbulkan persoalan untuk dikaji lebih lanjut dan dipecahkan oleh para siswa dalam proses belajarnya. Paling tidak guru dapat menempatkan media sebagai sumber pertanyaan atau stimulasi belajar siswa.
c) Sumber belajar bagi siswa, maksudnya media tersebut berisikan bahan-bahan yang harus dipelajari para siswa baik individual maupun kelompok. Dengan demikian akan banyak membantu tugas guru dalam kegiatan mengajarnya.
Sungguhpun demikian, media sebagai alat dan sumber pengajaran tidak bisa menggantikan guru sepenuhnya, artinya media tanpa guru adalah suatu hal yang mustahil dapat meningkatkan kualitas pengajaran. Peranan guru masih tetap diperlukan sekalipun media telah merangkum semua bahan pengajaran yang diperlukan oleh siswa.
Guru berkewajiban memberikan bantuan kepada siswa tentang apa yang harus dipelajarinya, bagaimana siswa mempelajarinya serta hasil-hasil apa yang diharapkan diperolehnya dari media yang digunakannya. Harus diingat, bahwa media adalah alat dan sarana untuk mencapai tujuan pengajaran, serta media bukanlah tujuan.
C. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENGGUNAAN / PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN.
Prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penggunaan media pada setiap kegiatan belajar mengajar adalah bahwa media digunakan dan diarahkan untuk mempermudah peserta didik dalam upaya memahami materi pelajaran. Dengan demikian, penggunaan media harus dipandang dari sudut kebutuhan siswa. Hal ini perlu ditekankan sebab sering media dipersiapkan hanya dilihat dari sudut kepentingan guru. Selain itu media pengajaran juga digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu harus diperhatikan prinsi-prinsip penggunaannya, antara lain :
1. Penggunaan media pengajaran hendaknya dipandang sebagai bagian yang integral dari suatu sistem pengajaran dan bukan hanya sebagai alat bantu yang berfungsi sebagai tambahan yang digunakan bila dianggap perlu dan hanya dimanfaatkan sewaktu-waktu dibutuhkan.
2. Media pengajaran hendaknya dipandang sebagai sumber belajar yang digunakan dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.
3. Guru hendaknya benar-benar menguasai tekhnik-tekhnik dari suatu media pengajaran yang digunakan.
4. Guru seharusnya memeperhitungkan untung dan ruginya pemanfaatan suatu media pengajaran.
5. Penggunaan media pengajaran harus diorganisir secara sistematis bukan sembarang menggunakannya.
6. Jika sekiranya suatu pokok bahasan memerlukan lebih dari macam media, maka guru dapat memanfaatkan multy media yang menguntungkan dan memperlancar proses belajar mengajar dan juga dapat merangsang siswa dalam belajar.
Beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam pemanfaatan media pengajaran dalam PBM (Proses Belajar Mengajar), yakni :
1. Media pengajaran yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
2. Media pengajaran tersebut merupakan media yang dapat dilihat atau didengar.
3. Media pengajaran yang digunakan dapat merespon siswa belajar.
4. Media pengajaran juga harus sesuai dengan kondisi individu siswa.
5. Media pengajaran tersebut merupakan perantara ( medium ) dalam proses pembelajaran peserta siswa.
Penggunaan media pengajaran seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:
1. Guru harus berusaha dapat memperagakan model dari suatu pesan ( isi pelajaran ) yang disampaikan.
2. Jika objek yang akan diperagakan tidak mungkin dibawa ke dalam kelas, maka siswa di ajak ke lokasi objek tersebut.
3. Jika siswa tidak memungkinkan di bawa ke lokasi objek tersebut, maka guru akan mengusahakan untuk memberi model atau tiruan objek tersebut.
4. Bilamana model juga tidak didapatkan, usahakan gambar atau foto-foto dari objek yang berkenaan dengan materi (pesan ) pelajaran tersebut.
5. Jika gambar atau foto juga tidak di dapatkan, maka guru berusaha membuat sendiri media sederhana yang dapat menarik perhatian belajar siswa.
6. Bilamana media sederhana tidak dapat dibuat oleh guru, gunakan papan tulis untuk mengilustrasikan objek tersebut melalui gambar sederhana dengan garis lingkaran.
Para ahli telah sepakat bahwa media pendidikan dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Ada dua alasan, tentang keterkaitan media pendidikan dengan manfaat media pendidikan dalam proses belajar siswa antara lain :
Alasan yang pertama :
a.) Bahan pengajaran akan lebih jelas, sehingga dapat lebih dipahami dan dikuasai tentang tujuan pengajaran oleh siswa.
b.) Metode pengajaran akan lebih bervariasi, maksudnya tidak hanya dengan komunikasi verbal ( penyampaian dengan kata-kata ), sehingga siswa tidak bosan.
c.) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain.
d.) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.
Contoh sederhana, guru akan mengajarkan masalah kepadatan penduduk sebuah kota. Ia menggunakan berbagai media pendidikan antara lain gambar atau foto suatu kota yang padat penduduknya dengan segala permasalahannya. Gambar dan foto tersebut akan lebih menarik bagi siswa dibandingkan dengan cerita guru tentang padatnya penduduk kota tersebut. Kemudian guru menyajikan suatu grafik pertumbuhan jumlah penduduk kota tersebut dari tahun ke tahun, sehingga jelas betapa cepatnya pertumbuhan penduduk kota tersebut.
Grafik tersebut dapat memperjelas pemahaman siswa terhadap pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun. Para siswa dapat melakukan analisis data penduduk, sebab-sebab pertumbuhan penduduk, melakukan proyeksi jumlah penduduk tahun berikutnya, dan aspek lain dari grafik tersebut. Para siswa juga dapat membuat grafik penduduk dan member interpretasinya. Dalam artian bahwa kegiatan belajar siswa lebih banyak dan lebih mendalam.
Alasan yang kedua, yaitu manfaat atau penggunaan media pendidikan dapat mempertinggi proses dan hasil pengajaran terkait dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai dengan berpikir konkret menuju berfikir abstrak, dengan kata lain cara berfikir sederhana menuju cara berfikir kompleks dan sebaliknya.
Sebagai contoh penggunaan peta atau globe dalam pelajaran ilmu bumi, pada dasarnya merupakan penyederhanaan dan pengongkretan dari konsep grafis, sehingga dapat dipelajari siswa dalam wujud yang jelas dan nyata. Demikian pula penggunaan diagram yang melukiskan hubungan dan alur-alur terjadinya bel listrik atau bunyi radio merupakan gambaran dan penyederhanaan konsep berpikir abstrak dalam wujud yang mudah dipelajar oleh para siswa.
Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut:
1) Untuk memperjelas bahan dan metode pengajaran agar tidak terlalu verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka)
2) Untuk mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misalnya:
• Obyek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realitas gambar, film bingkai, film, atau model.
• Obyek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film, atau gambar.
• Gerak yang terlalu cepat atau lambat, dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed
photography.
• Kejadian atau peristiwa masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film, video, film bingkai, foto yang secara verbal.
• Obyek yang terlalu kompleks, misalnya mesin-mesin yang divisualisasikan dengan model, diagram, dan lain-lain.
• Konsep yang terlalu luas, misalnya gunung, gempa bumi, iklim dan lain-lain juga dapat divisualisasikan dalam bentuk film, film bingkai, gambar dan lain-lain.
3) Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan berfvariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk:
• Menimbulkan kegairahan belajar
• Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak peserta siswa dengan lingkungan dan kenyataan
• Memungkinkan siswa belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam tahap pemilihan media, merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan proses pengggunaan media pembelajaran. Apabila salah dalam memilih media pembelajaran maka akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Memilih media harus selalu dikaitkan dengan kompetensi/tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sifat-sifat bahan ajar yang akan disampaikan strategi pembelajaran yang akan digunakan dan sistem evaluasinya. Proses pemilihan media pembelajaran ini harus memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut :
Tujuan Pemilihan Media Pembelajaran.
Karakteristik media pengajaran.
Alternative media pembelajaran yang dapat dipilih.
Dalam memilih media untuk kepentingan pengajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:
Ketepatannya dengan tujuan pengajaran
Dukungan terhadap isi bahan pelajaran
Kemudahan memperoleh media
Keterampilan guru dalam menggunakannya
Tersedia waktu untuk menggunakannya
Sesuai dengan taraf berfikir siswa
Media pengajaran juga digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu harus diperhatikan prinsi-prinsip penggunaannya, antara lain :
Penggunaan media pengajaran hendaknya dipandang sebagai bagian yang integral dari suatu sistem pengajaran dan bukan hanya sebagai alat bantu yang berfungsi sebagai tambahan yang digunakan bila dianggap perlu dan hanya dimanfaatkan sewaktu-waktu dibutuhkan.
Media pengajaran hendaknya dipandang sebagai sumber belajar yang digunakan dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.
Guru hendaknya benar-benar menguasai tekhnik-tekhnik dari suatu media pengajaran yang digunakan.
Guru seharusnya memeperhitungkan untung dan ruginya pemanfaatan suatu media pengajaran.
Penggunaan media pengajaran harus diorganisir secara sistematis bukan sembarang menggunakannya.
Jika sekiranya suatu pokok bahasan memerlukan lebih dari macam media, maka guru dapat memanfaatkan multy media yang menguntungkan dan memperlancar proses belajar mengajar dan juga dapat merangsang siswa dalam belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Harjanto. 1997. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Asnawir dan M. Basyiruddin usman. 2002. Media Pengajaran. Jakarta: Ciputat PersSudjana
Nana dan Ahmad Rivai. 2005. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru AlgensindoSadiman, Arief S dkk. 1986. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Anitah W, Sri dkk. 2011. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka
tarikh tasyrik
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Tarikh artinya
catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan
sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah
peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah
kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu
keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang
nilai baik dan buruk).
Sedangkan tasyri’ berarti
penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah
saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian memperluas
pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh
Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang
sejarah umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak
pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa kini.Tasyri’ juga
bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan
undang-undang dalam agama Islam. Kata Syariat secara bahasa
berarti al-utbah (lekuk liku lembah), dan maurid al-
ma’i (sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu kata ini digunakan untuk
mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber
air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang
lurus yang menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan
dan kebebasan dari dahaga jiwa dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam
surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga firman Allah SWT dalam surat al-Syura
ayat 13. Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat
48. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang
terang.
Syari’ah adalah“law
statute” artinya hukum yang telah ditetapkan dalam agama Islam. Syariat
menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui Rasul untuk
hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar iman, baik yang berkaitan
dengan aqidah, amaliah atau disebut ibadah dan muamalah atau yang berkaitan
dengan akhlak. Menurut Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat adalah
hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya yang disampaikan melalui para
Nabi atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan amaliah atau aqidah.
Syariat disebut
juga din (agama) dan millah. Syari’ah
Islamiyah didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala
untuk hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem
kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama
makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada masa
dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di kendalikan oleh
sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa
rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau dalam roda
kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada
tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh,
mereka mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah
dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah
satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama
disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir
adalah Ali Bin Abi Tholib.Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang
meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hokum Islam
selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi
itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada, mereka
berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di
sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Tasyri’ pada
masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hokum
juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua
permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin pula ada banyak
perbedaan penentuan hokum melihat pada tatanan social politik kala itu. Mereka
sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat
yang di lihat pada tatanan sosialnya.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat di ambil
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana kondisi tasyri’ pada masa
khulafaurrasyidin, dan faktor-faktor penyebab perkembangannya?
2.
Apa saja yang menjadi sumber tasyri’ pada masa
khulafaurrasyidin?
3.
Bagaimana karakteristik tasyri’ pada masa
khulafaurrasyidin?
4.
Apakah
sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kondisi Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor
Penyebab Perkembangannya
Apabila tahap pertumbuhan dan
perkembangan hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad saw dalam
literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut
pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan 4 (empat) tahapan, yaitu
(a) Masa Khulafaurrasyidin (632-662 M); (b) Masa Pembinaan, pengembangan dan
pembukuan (abad ke 7-10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke 10-19M); (d)
Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).Masa Khulafaurrasyidin
(632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu berhenti wahyu
turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui
Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik wahyu yang turun di Mekah
maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah berakhir pula dengan
meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kedudukan Nabi Muhammad saw
sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan oleh manusia lainnya
termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam
sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang lain. Pengganti
Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara disebut
khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin ini silih
berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddieq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode
kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia,
tetapi periode Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga
masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hokum yang rinci di
dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu,
Khulafaurrasyidin menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di
masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara
penetapan hokum di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir,
Irak, Iran, Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai
muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rosululloh
saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada
didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat
meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini
mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam Al-Quran maupun
Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum
jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam
berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada
kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai
bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’
yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam
urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di
hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab
mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka
menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits
melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Khulafaurrasyidin
bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rosululloh saw.
Karena itulah
maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini
fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan
kaidah-kaidah istidlal. Memang hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi
bukan berarti Khulafaurrasyidin memiliki wewenang mutlak untuk mengganti
syari’at yang telah di ajarkan oleh Nabi. Penetapan-penetapan pada waktu itu
sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi,
kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.
Sebelum
mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hokum, terlebih dahulu kita
perlu mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat.Berikut
di antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat.
a.
Sahabat
khawatir akan kehilangan Al-Quran karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran
meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
b.
Sahabat
mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Quran akan seperti
ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c.
Sahabat
takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rosululloh Saw.
d.
Sahabat
khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
e.
Sahabat
menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat, karena
Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam
Al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini
perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan
kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan
inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam masalah
hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang
banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang paling sering
mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya
suatu ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang
menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan
Rosululloh Saw. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain
:
1.
Di
Madinah : Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah.
2.
Di
Makkah : Abdulloh bin Abbas.
3.
Di
Kuffah : Ali bin Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas’ud.
4.
Di
Syam : Mu’adz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5.
Di
mesir : Abdulloh bin Ammar.
Pada mulanya para mufti berdomisili
di Madinah, dengan berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar ke
daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat, khususnya periode ini,
memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama.
Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga melebarkan
sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir.
Ini untuk
pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru, penyelesaian atas
masalah moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang
pluralistik. Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi
perkembangan fiqih pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan
“diislamkan” saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan
kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat untuk memberikan “hukum” pada
persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan.
Para
Khulafaurrasyidin dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan
Sunnah, menyikapi persoalan-persoalan yang dating dengan langsung merujuk
kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam Al-Quran
dan Hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam dua
sumber syariat Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka
secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari
berbagai tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap
persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya.
Sebagian dari
mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan
masing-masing. Dari sinimuncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang
mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non-muslim. Para Fuqaha
untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas
hidup seperti ini, termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah
terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas
merinci hukum masalah ini.
2.2
Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat
adalah
(a)
Al-Quran;
(b)
Sunn`h, dan
(c)
Ijtihad (ra’yu).
Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping
individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan
hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak. Al-Quran pada masa
ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan setelah dipertimbangkan
akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun smber hukum Islam yang kedua
adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan
bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap
dilakukan, sehingga kenbenaran riwayatnya dijamin. Abu Bakar misalnya, beliau
tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan
pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya
bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasululloh, demikian juga Ali bin
Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad. Para sahabat
dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang
berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab
dalam masalah ‘iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam
surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil ‘iddahnya sampai dia
melahirkan. Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati
oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas ‘iddahnya diambil yang lebih panjang
diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan),
sementara menurut Umar, ‘iddahnya sampai melahirkan.Kita ketahui secara pasti
bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat
banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus dilakukan, namun
tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan hukumnya. Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran
dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati pernah timbul
keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan, karenanya kembali
kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan, tetapi
nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat pada
Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis sebagai antisipasi hilangnya
Al-Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam
pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman
Al-Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah
Utsman ( 624-630 M ) itu disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits
secara tertib berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun
demikian sumber hhukum Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah.
Berdasarkan kedua sumber itulah para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran.
Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah
karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memeritahkan taat kepada Alloh dan
Rasul, mengembalikan sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta
berserah kepada apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul. Alasan para
sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh melakukan
ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn
Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa Engkau menghukumi
sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Alloh.” Rasul bertanya,
”Jika tidak kamu jumpai (dalam Kitab Alloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi
dengan Sunnah Rasululloh.” Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah
Rasululloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul
membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-Nya.
2.3
Karakteristik Tasyri’ Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Tidak setiap orang Islam mampu
mengembalikan berbagai persoalan pada materi undang-undang serta mampu memahami
hukum-hukum yang ditunjuk oleh Nash. Ini bias dimaklumi karena, dari aspek
pertama, terdapat umat Islam yang tergolong “awam”, yang baru bias memahami
nash melalui perantara orang yang lebih “pandai” dan memahami seluk beluk
penafsiran nash. Aspek kedua ialah, bahwa materi undang-undang belum tersebar
di kalangan umat Islam secara merata. Nash-nash Al-Quran pada permulaan periode
ini baru dibukukan dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah Rasul dan
di rumah sementara sahabatnya, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.
Aspek ketiga ialah, bahwa materi
undang-undang mensyariatkan hukum bagi kejadian dan urusan peradilan yang
terjadi ketika di-tasyri’kannya hukum-hukum itu, tidak mensyariatkan
hukum-hukum bagi peristiwa yang dibayangkan kemungkinan terjadinya. Dengan
adanya tiga sebab itu, maka para pemuka sahabat berpendapat bahwa di atas
pundak merekalah kewajiban tasyri’ wajib mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud
adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan
penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Al-Sunnah, dan
menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran
dan Hadits Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam
peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya.
Mereka itulah tokoh-tokoh pengendali kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dan
mereka itulah yang menggantikan Rasul dan tempat bertanya umat Islam tentang
berbagai persoalan. Para pemuka sahabat memangku hak tasyri’ bukan karena
pengangkatan Khalifah atau pemilihan umat, melainkan karena keistimewaan
pribadi yang di milikinya. Para sahabat telah lama bergaul dengan Rasul, serta
menghafal Al-Quran dan Al-Sunnah, para sahabat menyaksikan sdbab-sebab turunnya
ayat dan sebab-sebab datangnya Sunnah, banyak di antara mereka adalah teman
bermusyawarah Rasul dalam berijtihad. Karena keistimewaan inilah, maka para
sahabat mampu menjelaskan nash-nash dan mampu berijtihad dalam persoalan yang
tidak ada rujukan nashnya. Para sahabat adalah tempat bertanya umat Islam, dan
umat Islam mempercayai apa yang dating dari para sahabat, baik yang berupa
penjelasan maupun yang berupa fatwa.
Perkembangan tasyri’ pada masa
Khulafaurrasyidin pada periode Abu Bakar, tasyri’ tidak banyak mengalami perkembangan,
periode ini lebih menekankan konsolidasi kedalam dari pada melakukan ekspansi.
Adapun metode yang di pakai Abu Bakar dalam menetapkan hukum adalah apabila
masalah tersebut tidak ada dalam nash, maka Abu Bakar mengumpulkan para sahabat
dalam majlis tasyri’, dari hasil majlis tersebut maka di anggap sebagai
keputusan bersama dan harus dijalankan oleh ummat Islam waktu itu, sehingga
perbedaan pendapat tidak banyak terjadi pada periode ini. Masa pemerintahan
Khulafaurrasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam,
karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama
generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan
dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu.
Umat Islam telah berusaha
sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat Al-Quran, dan mengisnadkan para
perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini. Adapun
sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam Al-Sunnah
belum di bukukan pada periode ini, sebagaimana Al-Sunnah secara keseluruhan
juga belum di bukukan. Dalam periode ini Khalifah kedua yakni ‘Umar Ibn
Khattab, telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun, sesudah beliau bertukar
pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap
pembukuan Al-Sunnah. Mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi
Al-Sunnah dari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Al-‘Ash yang mempunyai sebuah lembaran
bernama Al-Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang di dengar dari
Rasululloh. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh
para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek
perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadits dari seorang perawi yang benar-benar
di perkuat oleh seorang saksi. Umar Ibn Khattab meminta si perawi hadits
mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, sedangkan Ali
Ibn Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap
hati-hati ini belum dapat merealisir tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan Al-Sunnah.
Dalam periode (ijtihad) sahabat,
belum ada pembukuan terhadap atsar-atsar mereka sedikitpun. Nilai fatwa para
sahabat merupakan pendapat perseorangan; jika benar maka berasal dari Alloh,
tetapi jika keliru berasal dari pribadi para sahabat itu sendiri. Para sahabat
tidak mengharuskan siapa pun khususnya umat Islam untuk mengikuti
fatwanya.
2.4
Sebab-Sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua
pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini
berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum ; Kelompok pertama
memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan
makna Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya
mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang harus dirujuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini
kelak dikenal sebagai kelompok Syi’ah. Sedangkan menurut kelompok yang kedua,
sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunjuk
penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan
Al-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan
masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai kelompok Ahlu
Sunnah atau Sunni. Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat
dibedakan menjadi tiga ; yang pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh
sifat Al-Quran ; Kedua, perbedaan yang disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang
ketiga, perbedaan pendapat dalam menggunakan ra’yu ( intervensi akal ). Sebab-sebab
perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya sebagai berikut
:
a)
Dalam
Al-Quran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytirak). Umpamanya
firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228 : “yang di ceraikan oleh
suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’.” Kata quru’ mengandung dua arti ;
al-haidl dan al-thuhr.
b)
Hukum
yang ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi
kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus. Misalnya, dalam Al-Quran
terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai karena
suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita
yang dicerai dalam keadaan hamil (‘iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua
ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang
hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat
bahwa ‘iddah yang berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam
keadaan hamil adalah ‘iddah yang terpanjang antara dua ‘iddah tersebut.
Sedangkan Abdullah Ibn Mas’ud berpendapat, bahwa yang berlaku adalah ‘iddah
hamil, sebab ayat tentang ‘iddah hamil diturunkan setelah ayat ‘iddah wafat,
yang berlaku konsep Naskh.
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :
a.
Tidak
semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka
ada yang penguasaannya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi
karena perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada yang tidak,
ada yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.
b.
Kadang-kadang
riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada
sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’yu karena
ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat
bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa
ramadhan, “man ashbaha junuban fala shouma lahu”. Kemudian pendapat ini di
dengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa
dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c.
Sahabat
berbeda pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya, Thowaf sebagian besar
sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu
Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf tidak Sunnah. Adapun perbedaan
pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu, diantaranya
perbedaan pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang menikah dalam
waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang menikah dalam waktu tunggu,
apabila belum dukhul harus dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya,
apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu
tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami
berikutnya. Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan
waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar
berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan
pelanggaran.
Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat
disebabkan adanya beberapa factor, setidaknya kita perlu mengatakan lima
persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits.
Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan
pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat seperti persoalan
quru’. Adanya ayat-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya
(dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah : 228
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya : Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya
Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
hal Ini
disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
Dalam hal ini
ada perbedaan pendapat dari sahabat
memiliki dua pengertian. Zaid bin Tsabit,
quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
Kedua,
munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan
kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati
tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru
kemudian mencari dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari nash ( at-Tarjih
), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
Ketiga,
sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa
berdasarkan pengetahuan dari Sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya
atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih.
Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan Hadits.
Beberapa Hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha
ditolak oleh Fuqaha lain sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan
periwayatan Hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits
di lain pihak, terutama dikalangan Ulama Madinah.
Keempat,
perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan
penggunaan kaidah dan Metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu
persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh Islam.
Kelima,
ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode
Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka
hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi
dan redinamisasi syariat periode ini.
Keenam,
perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada
yang menerima Hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya
menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka
. Bagi yang dekat dengan Rasulullah praktis saja mereka banyak menerima Hadits,
demikian sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah
wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan
sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan
musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin
Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam
yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu
). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul
dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’.
Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi
khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran,
dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat
mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’ pada masa
Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul
meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat
Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas
dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk
mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika
yang bermunculan.
DAFTAR
PUSTAKA
M.
Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
1967)
Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990)
Jaih
Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000)
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996)
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006)
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996)
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006)
Langganan:
Postingan (Atom)