BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Dalam peradabannya, manusia senantiasa mencari sistem dan bentuk
yang bisa
memberinya kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan
sosial (muamalat)nya, peradaban manusia akhirnya menemukan apa yang
disebut perjanjian atau dalam bahasa hukum Islam akad. Dalam perjalanan sejarah
umat manusia, perjanjian atau akad memiliki posisi signifikan dalam kehidupan
sehari-harinya. Akad merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat khususnya masyarakat Muslim. Mulai dari aktifitas jual beli,
kontrak, pinjam meminjam, asuransi, hutang piutang, pernikahan dan lain-lain tidak
bias dilepaskan
dari akad. Akad-lah yang membedakan antara orang berzina (kumpul kebo)
dengan orang yang sah melakukan hubungan suami-isteri, akad pulalah yang
membedakan antara mana yang riba (haram) dan yang tidak riba (halal).
Akad (al-‘Aqd), yang dalam
pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari
hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang
sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama
manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal
arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam
setiap masa.
Dengan demikian, akad memfasilitasi manusia dalam melakukan
aktifitas kehidupannya sekaligus memberikan legalitas. Karena
demikian pentingnya akad ini, maka Islam memberikan perhatian yang
sangat besar terhadapnya. Di dalam literature literatur
fikih, akad biasanya dibahas di dalam bab tersendiri dalam fikih muamalat. Pembahasan di
dalamnya cukup
panjang lebar mulai dari definisi, rukun, syarat, objek dan lain sebagainya. Namun
demikian, literatur-literatur tersebut dijumpai dalam bahasa Arab, bisa dihitung
dengan jari literatur yang menggunakan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu kami sebagai mahasiswa akan
mencoba mengulas tentang apa saja hal-hal yang berkaitan dengan akad, karena
akad tidak akan pernah lepas dari kehidupan sehari-hari pada manusia.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut
:
1. Apa yang dimaksud dengan akad?
2. Apa yang dimaksud pembentukan akad?
3. Bagaimanakah kriteria akad yang sah dan tidak sah dalam fiqih?
2. Apa yang dimaksud pembentukan akad?
3. Bagaimanakah kriteria akad yang sah dan tidak sah dalam fiqih?
1.3 TUJUAN
MASALAH
Dari rumusan masalah di atas, dapat di ambil tujuan penulisan sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari akad
2. Untuk mengetahui pembentukan akad
3. Untuk mengetahui akad yg sah dan yg tidak sah
2. Untuk mengetahui pembentukan akad
3. Untuk mengetahui akad yg sah dan yg tidak sah
1.4. METODOLOGI
PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu
mengambil materi-materi dari berbagai sumber buku. Selain itu, penulis juga
mengambil materi dari internet demi kelengkapan makalah yang penulis buat ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian
Secara etimologi, akad antara lain:
الرَّ بْطُ بَيْنَ اَ طْرَا فِ الشَيْءِ سَوَا ءٌ أَكَا نَ
رَبْطًا حِسِّيّاً أمْ مَعْنَوِ ياً مِنْ جاَ نِبٍ أَوْ مِنْ جاَ نِبَيْنِ
Artinya ”ikatan antara dua perkara, baik
ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari
dua segi”.
Bisa juga berarti العهد (sambungan), العق ة (janji)
Menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus.
1.
Pengertian umum
Secara umum , pengertian akad dalam arti luas hampir sama
dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyah,
malikiyah dan hanabilah, yaitu :
كُلُّ مَا عَزَمَ اْلمَرْءُ عَلًى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدْرَ
بِاِ رَا دَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كاَ لوَ قْفِ وَلْإبْرَاءِ وَالطًّلَا قِ
وَاْليَمِيْنِ أَمْ إِحْتاَجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِى إٍنْشَاءِىهِ كَا لْبَيْعِ
وَاْلاِيْجَا رِ وَاْلتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ
Artinya : segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau
sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli,
perwakilan, dan gadai.
2.
Pengertian khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih antara lain:
ارتباط ايجاب
بقبول على وجه مشروع يثبت اثره فى محله
Artinya : perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.
تَعَلُّقُ كَلًامِ أَحَدِ اْلعَاقِدَيْنِ بِلْاٰ خَرِ شَرْعاًعَلًى
وَجْهٍ يَظْهَرُ أَثَرُهُ فِى اْلمَحَلِّ
Artinya : pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang
lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual,”saya telah menjual
barang ini kepadamu” atau “aku serahkan barang ini kepadamu” contoh qabul “
saya beli barangmu” atau saya terima barangmu’
Dengan demikian ijab-qabul adalah sesuatu perbuatan atau pernyataan
untuk menunjukan suatu keridhoan dalam berakad diantara dua orang atau lebih,
sehingga terhindar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena
itu , dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat
dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada
keridhoan dan syariat islam.
2.2
Pembentukan akad
A.
Rukun akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad ijab dan
qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang
terjadinya tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki
tiga rukun, yaitu:
a.
Orang yang akad (’aqid), contoh; penjual dan
pembeli
b.
Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh,
harga atau yang dihargakan
c.
Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Definisi ijab dan qabul
Definisi ijab dan qabul menurut Hanafiyah adalah
penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh
orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul
adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan
keridaan atas ucapan orang pertama.
Dengan demikian ijab qabul adalah suatu perbuatan atau
pernyataan yang menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang
atau lebih sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak
berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan
atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang
tidak didasarkan pada keridaan dan syari’at islam.
B.
Unsur unsur akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan
pembentukan adanya akad, yaitu sebagai berikut:
a.
Shighat Akad
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua
pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada dihati keduanya tentang
terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan,
isyarat dan tulisan. Shighat tersebut biasa disebut ijab dan qabul.
Metode (uslub) shighat ijab dan qabul, antara lain:
1.
Akad dengan lafadz (ucapan)
Shighat dengan ucapan adalah shighat akad yang paling
banyak digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan cepat difahami. Tentu
saja kedua pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta menunjukkan
keridaannya.
a.
Isi lafadz
Shighat akad dengan ucapan tidak disyaratkan untuk
menyebutkan barang yang dijadikan objek-objek akad, baik dalam jual beli,
hibah, sewa-menyewa dan lain-lain. Hal itu disepakati oleh jumhur ulama,
kecuali dalam akad pernikahan.
b.
Lafadz shighat dan kata kerja dalam shighat
Para Ulama
2.
Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunakan ucapan tetapi cukup
dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridhai, misalnya penjual memberikan
barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini sangat umum terjadi dizaman
sekarang.
Dalam menanggapi persoalan ini, diantara para ulama
berbeda pendapat yaitu:
1.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah memperbolehkan
akad dengan perbuatan terhadap barang-barang yang sudah sangat diketahui secara
umum oleh manusia, jika belum diketahui secara umum, akad seperti itu dianggap
batal.
2.
Madzhab Imam Maliki membolehkan akad dengan
perbuatan jika jelas menunjukkan kerelaan, baik barang tersebut diketahui
secara umum atau tidak, kecuali dalam pernikahan.
3.
Ulama Syafi’iyah, Syiah dan Zhahiriyah
berpendapat bahwa akad dengan perbuatan tidak dibenarkan karena tidak ada
petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut.
3.
Akad dengan isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenrkan akad
dengan isyarat, melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi
mereka yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika
tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah
cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha untuk tidak
menggunakan isyarat. Dalam kaidah ini, para ulama fiqh membuat suatu kaidah
yaitu:
الإِ شاَرَاتُ المَعْهُوْ ذَا ةُ لِاَخْرَسِ كاَ البَيَانِ
بِا للّساَنِ
Artinya
Isyarat yang jelas dari orang bisu sama dengan penjelasan
dengan lisan.
4.
Akad dengan tulisan
Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi orang yang
mampu berbicara ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas,
tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya.
الكِتَابُ كاَ اْلخِطَابِ
Artinya:
Tulisan itu sama dengan ungkapan lisan.
Namun demikian, dalam akad dalam akad nikah tidak boleh
menggunakan tulisan jika kedua orang yang akad itu hadir. Hal ini karena akad
harus dihadiri oleh saksi, yang harus mendengar ucapan orang yang akad, kecuali
bagi orang orang yang tidak dapat berbicara.
2.3
Syarat-syarat akad
Para ulama fiqh menetapkan beberapa syarat
umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Adapun syarat-syarat umum suatu akad
itu adalah:
1.
Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah
cakap bertindak hukum (mukallaf), atau jika obyek akad itu merupakan milik
orang yang belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya sebab
suatu akad yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum mumayyis
secara langsung hukumnya tidak sah, tetapi jika dilakukan oleh wali mereka, dan
sifat akad yang dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang-orang yang
diampunya, maka akad itu hukumnya sah.
2.
Obyek akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek
akad ini disyaratkan pula:
a.
Berbentuk harta,
b.
Dimiliki oleh seseorang,
c.
Dan bernilai harta menurut syara’, apabila
obyek akad tersebut tidak bernilai harta dalam islam, maka akadnya tidak sah,
seperti khamr.
Menurut Jumhur Ulama selain ulam Hanafiyah,
menytakan bahwa barang najis seperti anjing, babi, bangkai dan darah tidak bisa
dinyatakan obyek akad, karena najis dan tidak bernilai harta dalam syara’.
3.
Akad itu tidak dilarang oleh nash (ayat atau
hadits) syara’. Atas dasar syara’ ini, seorang wali (pengelola anak kecil)
tidak boleh menghibahkan harta anak kecil itu. Alasannya adalah melakukan suatu
akad yang sifatnya menolong semata (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil
tidak dibolehkan syara’. Oleh sebab itu, apabila wali menghibahkan harta anak
kecil yang berada dibawah pengampuannya, maka akad itu batal menurut syara’.
4.
Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat
khusus yang terkait dengan akad itu. Artinya disampiung memenuhi syarat-syarat
umum yang harus dipenuhi suatu akad, akad itu harus memenuhi syarat-syarat
khususnya. Misalnya dalam jual beli.
5.
Akad itu bermanfaat.Oleh sebab itu, jika
seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seorang yang
berakad merupakan kewajiban baginya, maka akad itu batal. Misalnya, seorang
yang melakukan kejahatan melakukan akad dengan orang lain bahwa ia akan
menghentukan kejahatannya jika ia diberi sejumlah uang atau ganti rugi. Dalam
kasus ini dinyatakan batal oleh syara’ karena tidak mengandung manfaat sama
sekali.
6.
Pernyataan ijab tetap utuh dan syahih sampai
terjadinya qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan
maka akad itu tidak sah. Misalnya, dua orang pedagang dari daerah yang berbeda
melakukan suatu transaksi dagang melalui surat, pembeli menyampaikan ijabnya
melalui surat, yang memerlukan waktu beberapa hari. Sebelum surat itu sampai
pada penjual, pembeli telah gila maka itu dinyatakan tidak sah.
7.
Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.
Jika kedua pihak hadir, atau jika berada ditempat yang berbeda tetapi dimaklumi
oleh keduanya. Seperti dengan telpon.
8.
Tujuan akad itu jelas dan diakui oleh syara’.
Apabila tujuan suatu akad berbeda dengan tujuan aslinya, maka akad itu tidak
sah.
2.4 Macam- macam Akad
Ada banyak
jenis akad yang umum dikenal
dalam fikih muamalah dengan memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh
syara' atau tidak; dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan
memandang kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain.
a. Akad Sah dan Tidak Sah
Dengan memandang apakah akad itu memenuhi
syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan
akad tidak sah. Akad sah adalah
akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya
adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad
tersebut yaitu perpindahan hak milik.
Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang
salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa
akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan
kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual-beli bangkai, darah atau
daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak
terjadi transaksi.
Ada
perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan
batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fâsid) artinya sama.
Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi
membedakan antara rusak (fâsid) dengan batal sehingga mereka membagi akad
berdasarkan sah atau tidaknya menjadi tiga macam yaitu akad sah, fâsid dan
batal.
Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang
tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fâsid (rusak) di
mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan
tidak sah berarti batal dan berarti fâsid. Yang batal adalah akad yang rukunnya
tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan
secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila;
atau shighat akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak
diakui oleh syara' seperti jual-beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi.
Adapun
akad fâsid, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak
dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki
kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat
yang dilarang oleh syara' seperti menjual suatu barang yang belum jelas
kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut
dilakukan. Akad fâsid memiliki dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi
perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah
satu pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk
persoalan yang sebenarnya.
b. Dengan Melihat Penamaan
b. Dengan Melihat Penamaan
Dari
segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan
ghairu musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh
syara' seperti jual-beli (buyû'), ijârah , syirkah , hibah, kafâlah , hawâlah ,
wakâlah , rahn (gadai) dan lain-lain. Sedangkan akad ghairu musamma akad yang
belum diberi nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang
mengaturnya. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban
manusia yang dinamik. Jumlahnya pun sangat banyak dan tidak terbatas seperti
istishnâ' , baiul wafâ' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyârakah)
lain-lain.
c. Akad
‘Aini dan Ghairu ‘Aini
Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak
yang diberikan hak sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat
digolongkan menjadi ‘aini dan ghairu ‘aini. Akad ‘Aini adalah akad yang
pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang
ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah ,
i’arah , wadiah , rahn dan qardh. Dalam
akad-akad ini barang yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak
untuk menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada
yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal. Sedangkan ghairu aini adalah
akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighat akad secara sempurna
tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain
yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghairu ‘aini.
d. Pembaagian akad mengikut
sifatnya dari aspek syarak, terbagi kepada beberapa jenis iaitu sahih (صحيح) , batil (باطل), nafiz (نافذ), mauquf (موقوف), lazim (لازم) dan ja’iz (جائز).
1)
Akad sahih ialah kontrak yang sempurna
semua rukun dan syarat yang ditetapkan syarak dan tidak ada sebarang unsur dan
sifat meragukan yang boleh mengeluarkannya dari dikira sah dari segi
pensyariatannya. Hukum kontrak ini ialah sah dan sabit kesannya serta-merta sebaik
sahaja selesai ijab dan qabul jika
tidak ada khiyar dalam jual beli.
2) Akad batil ialah kontrak yang tidak
sempurna (cacat) syarat dan rukunnya. Hukum kontrak seperti ini ialah tidak sah
dan tidak melahirkan sebarang kesan sedikit pun.
3) Akad nafiz ialah kontrak yang terbit
dari seseorang yang mempunyai kelayakan dan kuasa untuk melakukannya. Hukumnya
ialah kontrak seperti ini menerbitkan kesan segera sebaik sahaja ia dibuat,
tanpa tertakluk kepada kelulusan dan keizinan seseorang.
4) Akad mauquf ialah kontrak yang terbit
dari seseorang yang mempunyai kelayakan untuk berkontrak, tetapi dia tidak
mempunyai kuasa untuk melakukannya seperti kontrak yang dilakukan oleh
kanak-kanak yang mumaiyiz bagi kontrak yang ada risiko untung dan rugi.
Hukumnya ialah kontrak ini tidak boleh melahirkan sebarang kesan melainkan
setelah mendapat kelulusan dan persetujuan oleh pemilik hak yang berkuasa
melakukannya. Jika pemilik hak tidak mempersetujui atau meluluskannya maka
kontrak itu menjadi batal.
5) Akad lazim ialah kontrak yang tidak
membolehkan salah satu pihak yang memeterai kontak membatalkannya tanpa
persetujuan pihak yang lagi satu seperti kontrak sewa dan jual beli.
6) Akad jaiz ialah kontrak yang membolehkan
salah satu pihak yang berkontrak membatalkannya tanpa sebarang persetujuan
pihak yang lagi satu seperti kontrak wakalah.
e. Pembaagian akad dari aspek ada atau tidak ada kesannya terhadap akad
yang dibuat pula terbahagi kepada munjiz (منجز), muallaq (معلق) dan mustaqbali (مستقبلى).
1)
Akad
munjiz ialah
kontrak yang dibuat dengan lafaz yang tidak digantungkan dengan sebatang syarat
dan tidak disandarkan pelaksanaannya pada masa hadapan. Kontrak seumpama ini
menerbitkan kesan segera ke atas kontrak sebaik sahaja ia dibentuk.
2)
Akad
muallaq
ialah kontrak yang dikaitkan kewujudannya dengan wujudnya sesuatu yang lain.
Sekiranya wujud perkara tersebut maka wujudlah kontrak, jika sebaliknya maka
tidak berlakulah kontrak. Sebagai contoh si polan A berkata kepada si polan B,
“jika aku jadi keluar negara maka engkaulah menjadi wakil ku”. Kontrak seumpama
ini tidak akan terbentuk melainkan adanya syarat yang dikaitkan itu.
3)
Akad
mustaqbali
ialah kontrak yang dibuat dengan lafaz penerimaan disandarkan pada masa yang
akan datang. Hukum kontrak ini ia akan berlaku atau terbentuk segera, tetapi
kesannya tidak ada kecuali pada waktu yang ditetapkan itu, iaitu waktu yang
disandarkan berlaku. (al-Zuhaily,Wahbah, Fiqh & perundangan Islam,
jld.4, hlm.235-248 dan al-Banhawi, Mohd Abdul Fatah, 1999, Fiqh
al-Muamalat Dirasah Muqaranah, Jamiah al-Azhar, Tanta, hlm.11-14.)
f.
Aspek kehalalan akad
Kehalalan transaksi-transaksi di atas untuk
selanjutnya akan menjadi haram dilakukan jika hal lain yang menyertainya,
seperti mekanisme dan cara memperolehnya dilarang syariah. Ada beberapa illat
yang menyebabkan dilarangnya kegiatan jual beli (tentunya termasuk juga
investasi). Berdasarkan Al-Qur’an, Hadist dan pendapat para ahli fiqih (ajaran
Islam), illat pelarangan tersebut adalah (Badan Pengawas Pasar Modal, 2004:12)
:
1) Haram karena bendanya
(zatnya)
Pelarangan kegiatan
muamalah ini disebabkan karena benda atau zat yang menjadi objek dari kegiatan
tersebut berdasarkan ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist telah dilarang atau
diharamkan. Benda-benda
tersebut, antara lain babi, khamr bangkai binatang dan darah.
2)
Haram selain karena bendanya (zatnya)
Pengertian
dari pelarangan atas kegiatan ini adalah suatu kegiatan yang objek dari
kegiatan tersebut bukan merupakan benda-benda yang diharamkan karena zatnya.
Artinya benda-benda tersebut adalah benda-benda yang dibolehkan (dihalalkan),
tetapi menjadi haram disebabkan adanya unsur:
a) Tadlis; tindakan sengaja mencampur barang
yang berkualitas baik dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Dalam konteks pasar modal, ini bisa
berarti pengaburan informasi.
b) Taghrir/ Gharar; situasi di mana terjadi
incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang
bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang
seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal
yang bersifat tidak pasti, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality),
harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang
ditransaksikan.
c) Riba; tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang maupun jual beli.
d) Bay Najash; situasi di mana konsumen/pembeli
menciptakan demand (permintaan) palsu untuk menciptakan harga jual yang
tinggi.
e) Ihtikar; situasi di mana produsen/penjual
mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply
(penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik.
f) Ghaban; situasi dimana si penjual memberikan
tawaran harga diatas rata-rata harga pasar (market price) tanpa disadari
oleh pihak pembeli.
2.5
Akhir Akad
Para Ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
a.
Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila
akad itu memiliki tenggang waktu
b.
Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad,
apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
c.
Dalam Akad yang bersifat mengikat, suatu akad
bisa dianggap berakhir jika:
1.
Jual beli itu fasad (rusak), seperti terdapat
unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi,
2.
Berlakunya khiyar syarat, khiyar aib, atau
khiyar rukyah
3.
Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak
4.
Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna
d.
Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
2.6
Hikmah
Akad
a.
Memperkuat hak milik seseorang sehingga pihak
lain tidak bisa memilikinya
b.
Benda yang dimiliki menjadi sah dan berhak
untuk dimiliki dan dinikmati
c.
Tidak bisa semena-mena dalam melangsungkan
atau membatalkan suatu ikatan perjanjian.
d. Menjadikan ketenangan kedua belah pihak didalam suatu transaksi atau
memiliki sesuatu.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dengan ini kita mengetahui
definisi akad, akad banyak jenisnya, rukun-rukun akad,syarat-syarat akad, dan
akad sangatlah penting bagi kehidupan mukallaf dalam bermasyarakat dan
(Hablumminannas).
3.2 SARAN
Semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan rekan-rekan dalam memahami studi islam,
masih banyak terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam pembuatan makalah ini,
kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah yang akan
datang
DAFTAR
PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,( Jakarta:
penerbit Universitas Indonesia, 1985)
Endang Saifudin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Islam, usaha Enterprise, Jakarta, 1978
Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung
Penerbit Mizan, 1996)
Ali,hasan.2004.Asuransi
Dalam Perspektif Hukum Islam.Jakarta:Kencana
Haroen,Nasruin.2000.Fiqih
Muamalah.Jakarta:Radar Jaya Pratama
Sabiq,Sayyid.1988.Fiqih
Sunnah 13.Bandung:PT. Al maarif Bandung
Ash-syiddiqi,Hasbi.1974,Pengantar
Fiqih Muamallah.Jakarta:Bulan Bintang
Syafi’i,Rahmad.1998.Fiqih
Muammalah.Bandung:Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar