BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Mungkin kita
sering mendengar kata munafik di dalam kehidupan sehari-hari kita. Kata munafik
atau muna mungkin kita anggap tidak begitu kasar di telinga kita karena kata
itu jarang kita dipublikasikan di media massa. Namun sebenarnya munafik adalah
suatu sifat seseorang yang sangat buruk yang bisa menyebabkan orang itu
dikucilkan dalam masyarakat.
Dan yang kita tahu hanya munafik saja tetapi kami
disini akan membahas tentang munafik sempurna, bagaimanakah kriteria munafik sempurna
tersebut, terkadang kita semua sebagai manusia tak tau bahwa kita sering
mengerjakan sesuatu yang bisa menimbulkan kemunafikan pada diri kita, seperti
bohong salah satunya.
Apakah
kita termasuk orang yang munafik
sempurna?
Mungkin kita
dengan tegas mengatakan kita adalah bukan orang munafik karena kurangnya
pemahaman kita mengenai apa itu sifat munafik yang sesungguhnya. Kita pasti
tidak ingin jika kita dianggap seorang yang munafik apa lagi munafik sempurna
naudzubillahi mindzalik, semoga kita bukan termasuk manusia yang berkriteria
munafik, agar kita faham tentang tanda-tanda orang munafik, mari kita lanjutkan pembahasan topik ini
bersama-sama.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar
belakang diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan munafik sempurna itu ?
2.
Bagaimana pendapat ulama tentang hadits tersebut ?
3.
Bagaimana asbabul wurud sehingga ada hadits tersebut ?
4.
apa isi kandungan dari hadis tersebut ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Hadist
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ
كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ،
وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
2.2. Terjemah
Artinya: Dari Abdullah
bin Umar bahwa Nabi SAW telah bersabda : “ada empat sifat siapa yang
memilikinya menjadi seorang munafik sejati(sempurna),dan siapa yamg memiliki sebagiannya
maka ada padanya sebagian dari kemunafikan sampai dia meninggalkan sifat itu:
1. Apabila diberi amanat berkhianat, 2. Apabila berbicara ia berdusta, 3.
Apabila berjanji ia menyalahi, 4. Apabila bertengkar ia curang” (HR.
Al-Bukhari no. 89 dan Muslim no. 58)
2.3.
Makna / Mufrodat Kata
No
|
Kosakata
|
Arti
|
1
|
عَنْ عَبْدُاللهِ بْنِ عَمَرْ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
|
Dari Abdullah bin Amar
|
2
|
قَالَ
|
Berkata
|
3
|
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
|
Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam
|
4
|
اَدْبَعُ
|
4 sifat
|
5
|
مَنْ كُنَّ فِيْهِ
|
Barangsiapa yang memilikinya
|
6
|
كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا
|
Ia seorang munafik sejati
|
7
|
وَمَنْ كَانَتْ
|
Dan barang siapa
|
8
|
فِيْهِ
|
Memiliki
|
9
|
خَلْصَةُ
|
1 sifat
|
10
|
مِنْهُنَّ
|
Diantara sifat-sifat itu
|
11
|
كَانَتْ فِيْهِ
|
Sungguh ia
|
12
|
خَلِصَةُ
|
Menuju ke sifat
|
13
|
مِنَ النِّفَاقِ
|
Munafik
|
14
|
حَتَّى
|
Sampai
|
15
|
يَدَعَهَا
|
Ia meninggalkannya
|
16
|
اِذَائْتُمِنَ
|
Apabila dipercaya
|
17
|
خَانَ
|
Khianat
|
18
|
وَاِذَا حَدَّثَ
|
Apabila berbicara
|
19
|
كَذَبَ
|
Berdusta
|
20
|
وَاِذَا عَاهَذَا
|
Apabila berjanji
|
21
|
خَدَرَ
|
Ingkar
|
22
|
وَاِذَا خَاصَمَ
|
Apabila bertengkar
|
23
|
فَجَرَ
|
Curang
|
2.4. Asbabul Wurud
Asbabul wurud
hadist:
Al-Khatibi
menjelaskan bahwa hadist ini ditujukan Rasulullah saw, kepada orang munafik,
namun Rasulullah saw tidak menjelaskan kepada para sahabat nama orang yang
dimaksud, disebutnya : “si fulan munafik”. Hal ini menunjukkan keluhuran budi
beliau.
Keterangan:
Dalam riwayat Abu Awanah berbunyi
(artinya): “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika ia berkata berlainan
dengan kejadian yang sesungguhnya, jika ia berjanji untuk kebaikan ia tidak
akan memenuhinya, jika ia diberi kepercayaan mengenai harta, rahasia atau
titipan ia kerjakan hal-hal bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah
kepadanya dan ia berkhianat kepadaNya.
Ketiga tanda
tersebut di khusus kan Rasulullah karena ketiganya meliputi perkataan, perbuatan
dan niat yang saling bertentangan.
2.5. Pendapat
Ulama
1)
Definisi Nifaq
Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara bahasa
merupakan jenis penipuan, makar, menampakkan kebaikan dan memendam
kebalikannya.
Secara syari’at terbagi dua: Pertama, Nifaq Akbar (Kemunafikan Besar); yaitu upaya
seseorang menampakkan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab,
Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam lawan dari itu semua atau
sebagiannya. Inilah bentuk nifaq (kemunafikan) yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW dan yang dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an.
Rasulullah SAW menginformasikan bahwa pelakunya kelak akan menempati neraka
paling bawah.
Kedua, Nifaq
Ashghar (Kemunafikan Kecil);
yaitu kemunafikan dalam perbuatan. Gambarannya, seseorang menampakkan secara
teranga-terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang berlawanan
dengan itu.
2)
Pokok-Pokok Nifaq
Pokok-pokoknya kembali kepada beberapa
sifat yang disebutkan dalam hadits-hadits (yang disebutkan Ibn Rajab dalam
syarah Arba’in, termasuk hadits yang kita kaji ini), di antaranya:
a)
Seseorang berbicara mengenai sesuatu yang dibenarkan orang
lain padahal ia berdusta. Nabi SAW bersabda dalam kitab al-Musnad karya Imam
Ahmad, “Amat besar
pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada saudaramu dengan suatu
pembicaraan di mana ia membenarkanmu namun kamu berdusta kepadanya.”
b)
Bila berjanji, ia mengingkari. Ini terbagi kepada dua jenis:
Pertama, seseorang berjanji padahal di dalam niatannya tidak ingin menepatinya.
Ini merupakan pekerti paling buruk. Kedua, Berjanji pada dirinya untuk menepati
janji, kemudian timbul sesuatu, lalu mengingkarinya tanpa alasan. Dalam hadits
yang dikeluarkan Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi
SAW, beliau bersabda, “Bila
seorang laki-laki berjanji dan berniat menepatinya namun tidak dapat
menepatinya, maka tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).”
c)
Bila berseteru, ia berbuat fajir. Makna fujur adalah keluar dari kebenaran secara
sengaja sehingga kebenaran ini menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi
kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan dusta sebagaimana sabda
Nabi SAW, “Berhati-hatilah
terhadap kedustaan, sebab kedustaan dapat menggiring kepada ke-fujur-an dan
ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di
dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya laki-laki yang paling
dibenci Allah adalah yang paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan Abi Daud, dari
Ibnu ‘Umar, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa
yang berseteru dalam kebatilan padahal ia mengetahuinya, maka senantiasalah ia
dalam kemurkaan Allah hingga menghadapi sakaratul maut.” Di dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang membantu dalam
perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah.”
d) Bila berjanji, ia
mengkhianati (mengingkari) dan tidak menepatinya. Padahal Allah SWT menyuruh
agar menepati janji seraya berfirman,
“Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya.” (QS.al-Isra’/17:34)
“Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91)
Di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibn
‘Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap
pengkhianat akan memiliki panji pengenal pada hari kiamat, lalu dikatakan;
inilah pengkhianatan si fulan.” Mengkhianati setiap perjanjian yang terjadi
antara seorang Muslim dan orang lain haram hukumnya sekali pun orang yang diajak
berjanji itu adalah seorang kafir.Oleh karena itu, di dalam riwayat al-Bukhari,
dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Siapa yang membunuh jiwa yang
diberi perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya
baunya terasa dari jarak perjalanan 40 tahun.”
Tentunya, perjanjian yang terjadi di
antara sesama Muslim, harus lebih ditepati lagi dan membatalkannya merupakan
dosa besar. Bentuk dosa paling besar dalam hal ini adalah membatalkan
perjanjian dengan imam (pemimpin negara Islam) yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengikuti dan sudah rela terhadapnya.
Di dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits
Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tiga orang yang tidak diajak
bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak Dia bersihkan diri mereka dan mereka
malah akan mendapat azab yang pedih…” Di
dalam hadits ini, beliau SAW menyebutkan salah satu dari mereka, yaitu seorang
laki-laki yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya hanya
karena dunia; jika ia (sang imam) memberinya sesuai dengan apa yang
diinginkannya, maka ia menepatinya dan bila tidak, maka ia tidak pernah
menepatinya.”Termasuk dalam janji yang wajib ditepati dan haram dikhianati
adalah seluruh akad seperti jual beli, pernikahan dan akad-akad lazim yang
wajib ditepati, yang terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela
atasnya. Demikian pula, sesuatu yang wajib ditepati karena Allah SWT dari
perjanjian hamba dengan Rabbnya seperti nadzar berbuat kebajikan dan semisalnya.
e)
Bila diberi amanah, ia berkhianat. Bila seseorang diberi
amanah, maka ia wajib mengembalikannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya…” (QS.an-Nisa’/4:58)
At-Turmudzi dan Abu Daud mengeluarkan
hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang
yang beramanah kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang berkhianat
kepadamu.”
Khianat terhadap amanah merupakan salah
satu sifat munafik sebagaimana firman Allah SWT,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah
berikrar kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami
termasuk orang-orang yang shaleh.[75] Maka setelah Allah memberikan kepada
mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran).[76]Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada
waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa
yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu
berdusta.[77]” (QS.at-Taubah/9:75-77)
Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung…..” (QS.al-Ahzab/33:72)
Pokoknya, semua Nifaq Ashghar terpulang kepada adanya perbedaan
antara perkara tersembunyi (bathiniah) dan terang-terangan (lahiriah). Al-Hasan
al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata, ‘Kekhusyu’an nifaq hanya
terlihat pada kehusyu’an raga sedangkan hatinya tidak pernah khusyu’.”
‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku
khawatirkan dari kalian adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada
yang bertanya, “Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia
menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau
kemungkaran.”
Nifaq Ashghar merupakan sarana melakukan Nifaq Akbar sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan
maksiat adalah merupakan ‘kotak pos’ kekufuran.
Bentuk
sifat nifaq ‘amali (praktis) yang paling besar adalah manakala seseorang
melakukan suatu perbuatan, tampak berniat baik namun ia melakukan itu hanya
agar dapat mencapai tujuan yang buruk. Dengan tipuan itu, ia lantas mencapai
tujuannya, bergembira dengan makar dan tipuannya sementara orang-orang
memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang membuatnya sampai kepada tujuan
buruk yang dipendamnya itu.
Manakala di kalangan shahabat telah ditetapkan bahwa nifaq
adalah adanya perbedaan antara perkara tersembunyi dan terang-terangan, maka
sebagian mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi, kekhusyu’an
dan kelembutannya ketika mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an) dengan menoleh dunia
dan sibuk dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua akan
menjadi salah satu bentuk kemunafikan dari mereka. Karena itu, Rasulullah SAW
sampai berkata kepada mereka, “Hal itu bukan termasuk kemunafikan.”
3)
Perbedaan
Para Ulama
1.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menepati janji
dalam 3 pendapat:PERTAMA, Menepati janji hukumnya Mustahab (dianjurkan), bukan wajib, baik dari
aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalah pendapat Jumhur ulama, yaitu tiga
imam madzhab; Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad.Al-Hafizh Ibn Hajar RAH
berkata, “Meriwayatkan hal itu sebagai ijma’ tidak dapat diterima (ditolak)
sebab perbedaan mengenainya amat masyhur akan tetapi yang mengatakan demikian
sedikit. Mereka berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:1. Hadits yang
dikeluarkan Ibn Majah dan Abu Daud (yang menilainya Hasan), bahwasanya nabi SAW
bersabda, “Bila salah seorang
di antara kamu berjanji kepada saudaranya sementara di dalam niatnya akan
menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak ada dosa baginya.”
2.
Bila seorang laki-laki berjanji, bersumpah dan ber-istitsna’
(bersumpah dengan menggunakan kata; insya Allah setelah sumpah tersebut), maka
menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap sumpahnya telah gugur (tidak
dinilai melanggar sumpah). Ini merupakan dalil gugurnya janji dari penjanji
tersebut. KE-DUA, Tidak harus menepati janji baik dari aspek keagamaan mau pun
penunaian. Ini adalah pendapat Ibn Syubrumah, yaitu madzhab sebagian ulama
Salaf seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin Rahawaih
dan Zhahiriah.
a.
Pendapat ini berdalil dengan nash-nash dari al-Qur’an dan
hadits, di antaranya:
Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad* itu.” (QS.al-Maa’idah:1) Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-ayat lainnya.
Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad* itu.” (QS.al-Maa’idah:1) Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-ayat lainnya.
b.
Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tanda orang munafiq ada tiga…” Di antaranya disebutkan: bila berjanji, ia berdusta.
Dengan begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat orang-orang
munafik sehingga ia diharamkan.
3.
Hadits yang dikeluarkan at-Turmudzi, bahwa nabi SAW bersabda,“Jangan
berdebat dengan saudaramu, jangan mencandainya dan berjanji padanya lalu
kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.”
KE-TIGA, Merinci; wajib menepatinya bila
janji tersebut ada sebabnya seperti bila ia diperintahkan melakukan pembelian
barang atau melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji melakukan
tindakan kesalahan, maka penjanji boleh menarik janjinya. Dalam hal ini, wajib
memenuhi janji secara keagamaan mau pun penunaian.
Ada pun bila tidak terjadi hal yang
merugikan terhadap orang yang diberi janji dengan ditariknya janji tersebut,
maka janji itu tidak lagi menjadi keharusan.
Dalil Pendapat Ini:
Bahwa nash-nash syari’at dalam masalah ini
saling bertabrakan. Dan apa yang disebutkan di atas adalah cara penggabungan
(sinkronisasi) paling baik.
Pendapat Syaikh asy-Syanqithi
Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-Bayaan” di
dalam tafsirnya mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan
menepati janji; sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara mutlak.
Sebagian lagi mengatakan, tidak harus secara mutlak. Sedangkan sebagian yang
lain, bila dengan berjanji itu membuat orang yang diberi janji berada dalam
kesulitan (bahaya), maka harus memenuhinya tetapi bila tidak demikian, maka
menjadi tidak harus lagi.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, imam
al-Awza’i dan asy-Syafi’i serta seluruh ulama fiqih mengatakan, sesungguhnya
tidak ada keharusan apa pun terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang
tidak berada dalam pegangan, sama seperti masalah ‘Ariyah** yang bersifat dadakan.
Pendapat yang jelas bagiku, bahwa mengingkari
janji tidak boleh sebab ia merupakan salah satu tanda kemunafikan akan tetapi
bila penjanji menolak untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut
hukuman apa pun terhadapnya dan tidak harus dipaksa pula. Tetapi ia mesti
diperintahkan untuk memenuhinya, tidak dipaksa.”
Pendapat Ulama Kontemporer
Di antara ulama kontemporer yang
menyatakan keharusan memenuhi janji adalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di, Abdurrahman bin Qasim, Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al-Qaradhawi dan
ulama lainnya.
Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam
Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah dalam
keputusan bernomor 2, pada daurah ke-5 yang diadakan di Kuwait periode 1-6
Jumadal Ula 1409 H memutuskan sebagai berikut:
“Menepati janji menjadi suatu keharusan bagi penjanji secara keagamaan kecuali bila ada ‘udzur. Ia harus memenuhinya dari sisi penunaian bila terkait dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan akibat janji tersebut. Pengaruh komitmen terhadap kondisi ini dapat dilakukan, baik dengan cara melaksanakan janji tersebut atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat tidak dipenuhinya janji tersebut tanpa ‘udzur.”
“Menepati janji menjadi suatu keharusan bagi penjanji secara keagamaan kecuali bila ada ‘udzur. Ia harus memenuhinya dari sisi penunaian bila terkait dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan akibat janji tersebut. Pengaruh komitmen terhadap kondisi ini dapat dilakukan, baik dengan cara melaksanakan janji tersebut atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat tidak dipenuhinya janji tersebut tanpa ‘udzur.”
Imam
Nawawi dalam kitabnya Syarah Sahih Muslim, jilid 2, halaman 47 mengatakan:
"Makna (pengertian) yang benar dan yang tepat mengenai hadis ini adalah
siafat-siafat tersebut merupakan sifat-sifat orang munafik, pelakunya mirip
dengan orang munafik, dan berperangai seperti perangainya mereka, karena
munafik adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
disembunyikan. Pengertian ini ada pada orang yang memiliki sifat-sifat
tersebut. Dalam hal ini kemunafikannya hanya kepada orang yang berbicara
dengannya, yang diberi janji, yang mempercayainya, dan yang bertikai dengannya,
buka munafik yang berarti menampakkan keislaman secara lahir, dan dalam
batinnya menyembunyikan kekafiran.
Sebagian ulama
mengatakan: "Ini berlaku pada orang yang biasa (sering) melakukan
sifat-sifat tersebut, adapun mereka yang melakukannya sesekali saja tidak
termasuk dalam kategori ini."
2.5. Takhrijul Hadits
Sanad paling shahih yang bersumber dari ibnu Umar
adalah yang disebut Silsilah adz- Dzahab (silsilah emas), yaitu Malik, dari
Nafi’, dari Abdullah bin Umar. Sedang yang paling Dlaif : Muhammad bin Abdullah
bin al-Qasim dari bapaknya, dari kakeknya, dari ibnu Umar.
Para ulama’ berusaha keras mengkomparasikan
antar perawi-perawi yang maqbul dan mengetahui sanad –sanad yang memuat drajat
diterima secara maksimal kerena perawinya terdiri dari orang –orang terkenal
dengan keilmuan, kedobitan dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai
bahwa sebagian sanad sahih merupakan tingkat tertinggi dari pada sanad
lainnya,karena memenui syarat syarat maqbul secara maksimal dan kesempurnaan
para perowinya dalam hal kreteri-kereterianya. Mereka kemudian menyebutnya
asahhul asnid. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai hal itu.
Sebagian mengatakan, ashahhul asanid adalah :
1.
Riwayat ibn syibah
az-zuhriy dari salim ibn abdillah ibn umar dari ibn umar. Sebagian lain
mengatakan, asahhul asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim
an-nakha’iy dari ‘Al qomah ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.
2.
Imam bukhari dan yang
lain mengatakan, sahahhul asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’
maula ibn umar dari ibn umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang
paling utama yang meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang
yang paling utama yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’
muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad
dari imam syafi’I dari imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang
disebut dengan silsilah adz- dzahab (rantai emas).
Untuk memudahkan
mengetahui ashahhul asanid dan meredam silang dikalangan ulama’ mengenai hal
ini, maka abu abdillah al-hakim mamandang perlu menghususkannya dengan sahabat
tertentu atau negeri tertentu.
2.6. Biografi
a) Abdullah bin Umar
Abdullah bin Umar bin Khattab (bahasa Arab: عبد الله بن عمربن الخطاب) atau sering disebut Abdullah
bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 -
wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat
utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang
kedua.
Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan
ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya. Pada usia 13 tahun
ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullahmenolaknya. Perang pertama yang
diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia
ikut berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam pembebasan
kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi
Muhammad meninggal, ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam pen`klukan Mesir serta
daerah lainnya di Afrika.
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar
untuk menjabat sebagai hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman
terbunuh, sebagian kaum muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah,
tapi ia juga menolaknya. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat
terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang
pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua
setelah Abu Hurairah, yaitu
sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istriRasulullah pernah memujinya dan
berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya,
seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia
senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau
melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada
musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Di antara
para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya
ialah Salim dan hamba sahayanya, Nafi'.
Pujian
dari Sahabat
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat
Nabi dan kaum muslimin lainnya. Jabir
bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi
oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abu
Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya
sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia,
sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding
dengan dia".
Ibnu
Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma.
Ia hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan
pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan
merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah.
b) SEJARAH SINGKAT IMAM BUKHARI
Kelahiran
dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara,
Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun
beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat,
tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama
Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya,
Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya
masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak
yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau
kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a
untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah,
menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para
ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan
hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya
dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu
Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi
pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad.
Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar
seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari,
al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.
Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia),
namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam
bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk
Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya
nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga
dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama.
Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang
yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat
syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram.
Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam
Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih
kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu
sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal
dan menguasai buku-buku seperti "al-Mubarak" dan "al-Waki".
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di
Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci
Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para
guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab
pertamanya "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa
Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits
shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh
80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau
dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini,
Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin
Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu
ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan
Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh
kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda
dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh.
Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia
sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak
menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta
kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat
apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut.
Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala
15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi
oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam
pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja
"diputar-balikkan" untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata
hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing
hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan
hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar
kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang
ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang
Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari
ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering
belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam
tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul
sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin
belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya
Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah wat
Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab
ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun,
Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan
kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab
"At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata,
"Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam Nabi Muhammad SAW
di waktu malam bulan purnama".
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami'
ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At
Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul
Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al
Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab
Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata:
"Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di
hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian
aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku
akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah
saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab
Al-Jami' As-Sahih."
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya
tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan
sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan.
Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para
perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang
diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang
menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring
bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku
susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16
tahun."
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya
adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim
bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan :
"Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak
pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang
memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka
menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km),
sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata :
"Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi,
lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."
Penelitian
Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari
menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui
para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota
yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah,
Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi
dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia
bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal
satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan,
melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat,
diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah
perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut
Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam
karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para
perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan
kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah
jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama
meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada
para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya
diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya.
Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah
yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu
dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari
banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk
mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan
sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di
kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz
seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan
Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama
enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan
Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits,
ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan
kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan
menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua
kali.
Metode
Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin
tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif.
Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu
lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan
umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang
ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai
otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu
Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda
dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu
saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda
pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan
hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer
dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini.
Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw.,
seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu
menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam
Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang
dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong
beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat
berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam
Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil
Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah
shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah
meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah
ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya
di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid
Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan
menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai.Proses penyusunan kitab ini dilakukan
di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia
menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits
haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti
dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh
kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan
hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut
pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits
susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah
hadits lainnya. "Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini
kecuali hadits-hadits shahih", katanya suatu saat.Di belakang hari, para
ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari
selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan
turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan
merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih
Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara
berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan.
Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab
At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya
untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih
Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah
dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah.
Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung)
namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih
termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara
para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena
perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya
Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk
agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata:
"Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan
pengajiannya." Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang
yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa
"Al-Qur'an adalah makhluk".
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya,
Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : "Barang siapa berpendapat bahwa
lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak
boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa
masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum
tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan
kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan
kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an,
makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau
menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab:
"Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia
adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan
Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan,
adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil
kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah
perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah
kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah
Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku
hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain
kesempatan, ia berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz
Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Wafatnya
Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam
Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun
pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand,
sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia
singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana
beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31
Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.
Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum
meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar
dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu
dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa
meninggalkan seorang anakpun.
2.7.
kandungan hadits
Dalam hadits yang
kedua dinyatakan bahwa ciri-ciri orang munafik ada 4, ke empat sifat tersebut
apabila seseorang memilikinya, maka dia termasuk orang munafik sejati.
Adapun balasan bagi orang-orang munafik
terdapat di QS At-taubah : 68, QS An-Nisa’ : 138
ÎÅe³o0
tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# ¨br'Î/ öNçlm; $¹/#xtã $¸JÏ9r& ÇÊÌÑÈ
138.
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat
siksaan yang pedih,
Pada
ayat tersebut djelaskan bahwa kelak di alam kubur, orang-orang yang memiliki
sifat munafik akan disiksa sesuai dengan apa yang dia perbuat.
BAB
III
PENUTUP
3.1
SIMPULAN
Ciri-ciri munafik sejati ada
4 yaitu : 1.
Apabila diberi amanat berkhianat, 2. Apabila berbicara ia berdusta, 3. Apabila
berjanji ia menyalahi, 4. Apabila bertengkar ia curang.
Jika
memiliki salah satu dari ciri-ciri tersebut maka ia termasuk orang munafik dan
jika memiliki keempat cirri-ciri tersebut maka ia termasuk seseorang yang
bersifat munafik sempurna.
3.2
SARAN
Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan pembaca dalam memahami ulumul hadits, masih banyak
terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, kritik dan
saran sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Razaq
dan H. Rais Lathief. , 1978. Terjemah Hadits Sahih Muslim. Jakarta:
Pustaka Al-Husna.
Ibnu
Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Damsyiki. Asbabul Wurud 1. (Jakarta:
Penerbit Kalam Mulia). Hal: 9-10. Diterjemahkan Oleh: H.M. Suwarta Wijaya B.A
dkk.
http://ahlulhadist.wordpress.com
KOMENTAR BERDASARKAN :
Tulis Tanggapan Anda
Top of Form
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form
TEREKOMENDASI
Arvian Bayu
Galih Wirahadi
Mierza Darsya Putra
Katedrarajawen
Pm Tangke
TERAKTUAL
“Sepak
Bola dan Perjudian”Jadi
Ini yang Bikin Pria Sensi, Emang Wanita Nggak?Murid
Bodoh!!!! (Spesial UAN)Wow,
Dokter-pun Bisa Jadi Pimpinan Bank Dunia !
INSPIRATIF
BERMANFAAT
MENARIK
Subscribe and Follow Kompasiana: